Desa mempunyai sumber pendapatan berupa pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten / kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten / kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga (UU No. 6 Tahun 2014). Sumber pendapatan desa tersebut secara keseluruhan digunakan untuk mendanai seluruh kewenangan yang menjadi tangggung jawab desa. Dana tersebut digunakan untuk mendanai penyelenggaraan kewenangan desa yang mencakup penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, pendapatan desa yang bersumber dari APBN juga digunakan untuk mendanai kewenangan tersebut.
Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer oleh pemerintah pusat melalui APBD kabupaten / kota. Dana desa harus dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat (PP No. 60 Tahun 2014). Seperti diketahui, desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa. Ini artinya dana desa akan digunakan untuk mendanai keseluruhan kewenangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas dan desa tersebut. Dengan tata kelola keuangan desa yang baik, maka akan terciptalah desa yang mandiri dan akhirnya akan mencapai pembangunan Indonesia yang lebih maksimal (Sujarweni, 2015).
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahwa kepala desa, bendahara desa, beserta perangkat desa lainnya sebagai pelaksana teknis bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan desa. Dalam pengelolaan keuangan desa tersebut, bendahara desa bertugas dalam urusan penatausahaan. Artinya bahwa kepala desa dalam melaksanakan penatausahaan keuangan desa harus menetapkan bendahara desa. Penetapan bendahara desa harus dilakukan sebelum dimulainya tahun anggaran bersangkutan dan berdasarkan keputusan kepala desa. Bendahara adalah perangkat desa yang ditunjuk oleh kepala desa untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, membayar, dan mempertanggungjawabkan keuangan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa (Hamzah, 2015).
Bendahara desa adalah unsur staf sekretariat desa yang membidangi urusan administrasi keuangan untuk menatausahakan keuangan desa. Bendahara desa merupakan bagian dari pengelola teknis pengelolaan keuangan desa (PTPKD). PTPKD merupakan unsur perangkat desa yang membantu kepala desa untuk melaksanakan pengelolaan keuangan desa. Bendahara desa dijabat oleh staf urusan keuangan. Bendahara desa wajib melakukan pencatatan setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan tutup buku setiap akhir bulan secara tertib. Bendahara desa wajib mempertanggungjawabkan uang melalui laporan pertanggungjawaban. Laporan pertanggungjawaban tersebut disampaikan setiap bulan kepada kepala desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Berkaitan dengan adanya beberapa transaksi penggunaan dana desa yang ada di setiap wilayah desa, pemahaman tentang pajak harus lebih ditingkatkan seiring dengan adanya perkembangan transaksi ekonomi. Setiap transaksi ekonomi selalu dapat dikaitkan dengan aspek pengenaan pajak, baik yang dilakukan oleh pelaku usaha maupun dilakukan oleh perangkat instansi pemerintah yang dananya bersumber dari APBN / APBD. Selain itu, adanya beberapa sumber dana yang berasal dari kabupaten / kota dan provinsi, maka aspek perpajakan hendaknya harus benar-benar diperhatikan oleh segenap perangkat desa. Adanya belanja barang dan jasa dari perangkat desa, akan menggiatkan sektor ekonomi di pedesaan dan meningkatkan omset para pelaku usaha, otomatis meningkatkan jmlah wajib pajak dan penerimaan pajak untuk negara.
Seperti diketahui bahwa pihak yang berperan dalam melaksanakan fungsi perbendaharaan dan fungsi pemungutan pajak dalam pengelolaan APBN / APBD adalah bendahara satuan kerjanya. Demikian pula di desa, bendaha desa adalah yang melaksanakan pengeluaran anggaran yang dananya bersumber dari APBN / APBD memiliki kewajiban untuk memungut / memotong, menyetor, dan melaporkan pajak atas transaksi yang timbul di desa. Aparatur desa memiliki tanggung jawab untuk mengamankan penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Potensi perpajakan yang terkait dengan alokasi dana desa ini sangat bervariasi, tergantung dari jenis transaksi yang merupakan obyek pajak, serta transaksi atas pengadaan barang / jasa yang dapat dikenakan pajak (www.pajak.go.id).
Memang disadari bahwa masih banyak desa yang melakukan pembangunan fisik / konstruksi masih menggunakan sistem swakelola, sehingga ada saja terdapat pembelian material-material yang merupakan bukan barang kena pajak, sedangkan pembayaran tenaga kerjanya menggunakan cara upah harian atau borongan. Hal demikian tentu saja akan merepotkan bendahara desa dalam menghitung pajak terutang maupun untuk mengidentifikasi jenis barang yang merupakan obyek pajak atau bukan. Selain hal tersebut, banyak bendahara desa yang masih kebingungan dalam menentukan jenis pajak, obyek pajak, dan wajib pajak dalam beberapa transaksi. Kebingungan itu menyebabkan kadang bendahara desa salah dalam penentuan tarif pajak yang seharusnya dipungut atau dipotong, yang tentu saja hal ini akan mengakibatkan kerugian bagi penerimaan negara.
Berdasarkan beberapa hal yang telah dijelaskan di atas, sangat dipandang perlu bagi aparatur desa pada umumnya, serta bendahara desa pada khususnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang memadai berkaitan dengan aspek perpajakan dalam transaksi yang berkaitan dengan penggunaan dana desa. Hal ini agar tidak terjadi kesalahan dalam pemungutan, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan dalam aspek perpajakan yang berkaitan dengan transaksi penggunaan dana desa. Dengan adanya pengetahuan yang mendalam tentang perpajakan dalam penggunaan dana desa, akan membantu negara dalam penerimaan pajak. Oleh karena itu, diharapkan bagi aparatur desa pada umumnya, serta bendahara desa pada khususnya, untuk menguasai aspek-aspek perpajakan yang berkaitan dengan penggunaan dana desa.
PEMBAHASAN
Pada tahun 2014, dana desa menjadi bahasan politik yang akhirnya direalisasikan dalam bentuk Undang-Undang Desa yaitu UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dana desa yang bergulir ke kas desa tentu harus dikelola sebaik mungkin dan perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa harus memahami fungsinya sebagai juru bayar dan juga wajib pungut yang bertugas menghitung, memotong / memungut, menyetor, dan melaporkan pajak atas pembelanjaan dana desa tersebut. Oleh karena prinsip pajak di Indonesia yang menganut self assesment system, maka bendahara desa diberikan tanggung jawab dan kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Namun tidak sedikit bendahara desa yang kebingungan dan tidak memahami aturan-aturan yang berkaitan dengan perpajakan. Berikut ini akan diuraikan berkaitan dengan perpajakan yang berkaitan dengan penggunaan dana desa.
Nomor pokok wajib pajak (NPWP) merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. NPWP dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. Pendaftaran NPWP bisa dilakukan melalui kantor pelayanan pajak (KPP) atau melalui elektronik secara online pada alamat www.pajak.go.id dengan mengklik menu e-registration. Kewajiban dasar sebagai wajib pajak / wajib pungut yaitu memiliki NPWP. NPWP yang didaftarkan adalah NPWP atas nama desa / bendahara desa. Perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa tentunya harus memiliki NPWP pribadi dan atas NPWP bendahara desa. Persyaratan yang harus dilengkapi untuk memiliki NPWP bendahara desa adalah fotokopi surat penunjukan sebagai bendahara desa, serta fotokopi KTP bendahara yang bersangkutan, kemudian mengisi formulir pendaftaran NPWP bendahara (Resmi, 2014).
Pajak yang dipotong oleh bendahara desa yang berkaitan dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, bonus, insentif atau pembayaran lain kepada orang pribadi. Termasuk di dalamnya adalah atas pembayaran kepada individu bendahara desa itu sendiri, apabila telah melebihi batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), maka bendahara desa wajib memotong pajak untuk dirinya sendiri. Apabila si penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 20 % lebih tinggi dari pajak yang seharusnya dipotong. Secara umum, beberapa jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 oleh desa adalah sebagai berikut (UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan) :
Pajak yang dipungut dari pihak ketiga (pengusaha / toko) oleh bendahara desa dalam hal pembayaran / pembelian barang dengan nilai diatas Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan bukan transaksi yang terpecah-pecah. Tarifnya adalah 1,5 % dari dasar pengenaan pajak apabila pihak ketiga tersebut (pengusaha / toko) memiliki NPWP, sedangkan apabila tidak memiliki NPWP maka tarifnya menjadi 3 %. Secara umum, beberapa jenis kegiatan di desa yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut (UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan) :
Pajak yang dipotong dari penghasilan yang diterima rekanan atas sewa (tidak termasuk sewa tanah dan atau bangunan), serta imbalan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultan, dan jasa lainnya. Tarifnya untuk penghasilan atas jasa adalah 2% jika rekanan ber NPWP, jika belum punya NPWP dipotong 4%. Secara umum, penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 oleh desa antara lain sebagai berikut (UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan) :
Pajak yang dipotong atas pembayaran: sewa tanah dan atau bangunan, pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, jasa konstruksi (perencana, pelaksana, dan pengawas). Beberapa transaksi yang dilakukan oleh desa yang dapat dilakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) Final antara lain sebagai berikut (UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan) :
PPN merupakan pemungutan pajak atas pembelian barang / jasa kena pajak yang jumlah nominalnya di atas Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Tarif PPN adalah 10 % dari dasar pengenaan pajak (harga tidak termasuk PPN). Bendahara desa sangat dianjurkan memilih rekanan yang sudah menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan sudah menerbitkan nomor seri faktur pajak. Rekanan diusahakan harus PKP, karena hanya rekanan yang ber-PKP yang bisa menerbitkan faktur pajak. Jika dalam transaksi tidak menggunakan rekanan yang ber-PKP, maka PPN tetap dipungut oleh bendahara desa, akan tetapi untuk pertanggungjawaban administrasinya kurang lengkap, dikarenakan tidak ada faktur pajak. Hal ini tentu saja akan menjadi temuan bagi inspektorat yang terkait.
Berkaitan dengan pengenaan PPN, pada intinya yang dikenakan PPN adalah barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Secara umum, semua jenis barang adalah BKP, dan setiap jenis jasa adalah JKP, kecuali yang dinyatakan oleh Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang PPN bahwa barang tersebut bukan BKP (non-BKP) dan bukan JKP (non-JKP). Berikut ini adalah jenis barang dan jasa yang termasuk non-BKP dan non-JKP, atau tidak kena PPN dalam transaksinya (UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai) :
A. Barang Tidak Kena PPN (Non-BKP)
B. Jasa Tidak Kena PPN (Non-JKP)
Jadi secara umum, barang dan jasa yang tidak termasuk kategori Non-BKP dan Non-JKP, semuanya akan terutang PPN yang harus dipungut oleh bendahara desa.
Menurut Undang-Undang 10 Tahun 2020, Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen baik itu dokumen kertas maupun dokumen elektronik yang dapat digunakan sebagai bukti atau keterangan.
Adapun asas-asas yang mengatur bea materai yang diantaranya yaitu asas kesederhanaan, asas efisiensi, asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemanfaatan.
Adapun bea materai diberlakukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara demi membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju kesejahteraan, memberikan kepastian hukum yang adil, menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan menyelaraskan ketentuan bea materai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun objek bea materai Rp.10000 dan sudah tidak berlaku lagi materai Rp3000 dan Rp6000. Pada Pasal 3 ayat (1), bea materai dikenakan atas 2 hal yakni 1. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata, 2. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Adapun dokumen bersifat perdata yang dimaksud yakni meliputi beberapa hal berikut: 1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau sejenisnya., 2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipan. 3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipan. 4. Surat berharga dengan nama dalam bentuk apapun, 5. Dokumen transaksi surat berharga, dalan nama atau bentuk apapun. 6. Dokumen lelang berupa kutipan risalah lelang. 7. Dokumen yang bernilai lebih dari Rp 5 juta rupiah yang menyebutkan penerima uang, terdapat pengakuan hutang dilunasi atau diperhitungkan, 8. Dokumen lain yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, adapun dokumen yang bukan merupakan objek pajak, yakni :
Dokumen terkait lalu lintas orang dan barang seperti surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, bukti pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas pengirim, dan surat lain sejenisnya. 2. Segala bentuk ijazah. 3. Tanda terima pembayaran gaji, pensiun, tunjangan, dan pembayaran lain terkait hubungan kerja. 4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas daerah, dan lembaga lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, 5. Kwitansi untuk segala jenis pajak dan penerimaan lainnya, 6. Tanda penerimaan uang untuk keperluan intern organisasi, 7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang, surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada bank, koperasi, dan badan lain kepada nasabah, 8. Surat gadai, 9. Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbalan hasil dari surat berharga dengan nama dan bentuk apapun, 10. Dokumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan kebijakan moneter.
Sekedar mengingatkan tarif tunggal bea materai Rp 10000 sudah mulai berlaku sejak 1 Januari 2021. Sementara ini, materai Rp 3000 dan Rp 6000 masih berlaku selama masa transisi hingga 31 Desember 2021.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perpajakan yang berkaitan dengan penggunaan dana desa adalah sebagai berikut ini :
SARAN
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas tentang perpajakan yang berkaitan dengan penggunaan dana desa, maka dapat disarankan sebagai berikut :
oleh: Galih Wicaksono IAI Jatim
Pengajuan pertanyaan atau aduan Klik Disini